JAKARTA, PPRNEWS - Isu pernikahan anak di bawah umur kembali menjadi sorotan di Indonesia. Meskipun pemerintah telah menaikkan batas usia minimal pernikahan, praktik "dispensasi nikah" masih menjadi celah yang sering digunakan. Hal ini memunculkan pertanyaan mendalam: apakah dispensasi nikah menjadi solusi atau justru menciptakan permasalahan baru bagi masa depan anak-anak di Indonesia?
Apa Itu Dispensasi Nikah?
Dispensasi nikah adalah izin khusus yang diberikan oleh pengadilan agama bagi calon pengantin yang belum mencapai usia minimal yang ditetapkan oleh undang-undang. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas usia minimal menikah adalah 19 tahun, baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Jika ada pasangan yang ingin menikah tetapi salah satu atau keduanya belum mencapai usia tersebut, mereka harus mengajukan permohonan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama. Pengadilan akan mempertimbangkan permohonan tersebut dengan beberapa syarat, salah satunya adalah adanya "keterpaksaan" atau alasan mendesak, seperti kehamilan di luar nikah.
Tingginya Angka Dispensasi Nikah
Meski batas usia sudah dinaikkan, data dari Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung menunjukkan bahwa angka permohonan dispensasi nikah masih sangat tinggi. Pada tahun 2024 saja, tercatat puluhan ribu permohonan dispensasi nikah diajukan di seluruh Indonesia. Jawa Barat dan Jawa Tengah menjadi provinsi dengan angka permohonan tertinggi.
"Fenomena ini menunjukkan bahwa regulasi saja tidak cukup," ujar Siti Maemunah, seorang aktivis hak anak. "Peningkatan batas usia pernikahan memang baik, tetapi selama dispensasi nikah masih bisa diakses dengan mudah, praktik perkawinan anak akan terus terjadi."
Alasan Utama Pengajuan Dispensasi Nikah
Penelitian dan laporan dari berbagai lembaga, termasuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), menyebutkan beberapa alasan utama di balik tingginya permohonan dispensasi nikah:
Hamil di Luar Nikah: Ini adalah alasan paling umum dan mendominasi. Orang tua sering kali merasa malu dan khawatir dengan norma sosial, sehingga jalan pintas untuk menikahkan anak dianggap sebagai satu-satunya solusi.
Faktor Ekonomi: Kemiskinan sering kali menjadi pemicu. Orang tua merasa tidak mampu menanggung biaya hidup anak dan memilih untuk menikahkan mereka agar beban keluarga berkurang.
Tekanan Sosial dan Budaya: Masih ada pandangan di sebagian masyarakat bahwa anak perempuan yang sudah menginjak usia remaja "sudah saatnya" menikah. Kekhawatiran akan pergaulan bebas juga menjadi alasan lain.
Minimnya Pemahaman Kesehatan Reproduksi: Kurangnya edukasi seksual dan kesehatan reproduksi membuat remaja rentan terhadap hubungan seksual pranikah, yang berujung pada kehamilan.
Dampak Negatif Dispensasi Nikah
Meskipun terlihat sebagai solusi cepat, pernikahan dini melalui jalur dispensasi nikah membawa banyak dampak negatif, baik bagi anak maupun masyarakat:
Risiko Kesehatan: Pernikahan dan kehamilan di usia muda meningkatkan risiko kesehatan, termasuk komplikasi saat melahirkan, anemia, dan kematian ibu dan bayi.
Pendidikan Terhenti: Anak yang menikah di usia dini cenderung putus sekolah. Hal ini membatasi kesempatan mereka untuk meraih pendidikan yang layak, yang pada akhirnya akan menghambat kesejahteraan ekonomi.
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT): Studi menunjukkan bahwa pernikahan dini memiliki korelasi dengan tingginya kasus KDRT. Pasangan yang menikah muda sering kali belum memiliki kematangan emosi untuk menyelesaikan konflik, yang berujung pada kekerasan.
Kemiskinan Generasi: Pernikahan dini sering kali membentuk lingkaran kemiskinan yang sulit diputus. Pasangan muda yang tidak memiliki keterampilan kerja yang memadai akan sulit mendapatkan pekerjaan layak, sehingga memengaruhi kesejahteraan anak-anak mereka di masa depan.
Masa Depan Regulasi Dispensasi Nikah
Pemerintah, melalui berbagai kementerian terkait, terus berupaya menekan angka pernikahan anak. Sejumlah usulan kebijakan, termasuk pengetatan syarat pengajuan dispensasi nikah dan peningkatan edukasi di masyarakat, sedang dipertimbangkan.
"Pengadilan Agama juga tidak bisa asal memberikan dispensasi," jelas juru bicara Mahkamah Agung. "Hakim diwajibkan untuk mempertimbangkan secara mendalam, termasuk dampaknya terhadap masa depan anak. Keputusan harus didasarkan pada 'kemaslahatan' anak, bukan hanya keinginan orang tua."
Namun, banyak pihak berpendapat bahwa selain pengetatan hukum, solusi fundamental terletak pada peningkatan kesadaran masyarakat. "Pernikahan anak tidak akan selesai hanya dengan hukum. Kita butuh edukasi, pemberdayaan ekonomi, dan perubahan pola pikir bahwa masa depan anak adalah pendidikan, bukan pernikahan," pungkas Siti Maemunah.
Penulis : Mas Taufiq Editor : Mas Ali